Masalah Pengelolaan SDA di Indonesia
Konflik Sumber Daya Alam di Riau
Konflik Sumber Daya Alam di Riau
merupakan tertinggi di Indonesia dibandingkan dengan daerah lainnya. Padahal
Provinsi Riau masih berada di urutan pertama dalam hal SDA sepanjang tahun 2015.
Berdasarkan lembaga kemitraan pembangunan sosial berkelanjutan Scale Up,
mencatat 31 konflik terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan Riau akibat perizinan.
Konflik tertinggi terjadi di sektor perkebunan dengan 36 titik konflik tersebar
di sejumlah kabupaten/kota di Riau. Padahal konflik itu akibat perizinan yang
berdampak negatif dan cenderung mengabaikan hak masyarakat. Berbagai penyebab
konflik SDA diantaranya penyerobotan lahan oleh perusahaan, tumpang tindih
wilayah konsesi, pengabaian hak masyarakat dan ingkar janji pihak perusahaan
kepada masyarakat tempatan. Selama ini, konflik antara masyarakat dengan
perusahaan masih menjadi faktor utama dalam terjadinya konflik. Sedikitnya ada
43 konflik dengan faktor yang berhadapan langsung antara masyarakat dengan
perusahaan.
Terkait dengan penyebab utama dari
maraknya konflik tersebut adalah karut-marut perizinan baik di sektor kehutanan
maupun perkebunan. Banyak perusahaan
yang beroperasi terlebih dahulu baru, kemudian mengurus izin. Padahal lokasi
yang diajukan sebagai kebun terdapat lahan atau pun kebun milik masyarakat
setempat. Selain itu ketidakjelasan tapal batas antara pemilik konsesi dan
masyarakat juga memicu timbulnya konflik. Juga ketidakjelasan tapal batas
antara kabupaten, kota ataupun provinsi. Kondisi ini diperparah dengan
pengerahan aparat keamanan seperti polisi dan tentara yang mempertajam dan
memperluas perselisihan.
Untuk tahun 2015, diperkirakan tren
konflik pemanfaatan SDA masih tinggi, dikarenakan tidak adanya upaya pemerintah
lokal dalam menyelesaikan konflik. Selain bukan prioritas, pemerintah lokal
sering mengatakan bahwa kasus tersebut di luar kewenangan mereka sehingga harus
dituntaskan oleh pemerintah pusat
Lahan gambut yang dulu dianggap
sebagai lahan marjinal, kini menjadi sebuah sasaran ekspansi perusahaan skala
besar, baik di sektor kehutanan maupun perkebunan. Pengkonversian lahan gambut
menjalar terhadap akibat-akibat lain, salah satunya kebakaran yang menjadikan
gambut kian kritis. Sejauh ini, ada dua hal yang saat ini menguasai dan
memiliki otoritas terhadap gambut. Pertama, lahan gambut dikuasai oleh
perusahaan skala besar dengan mengantongi izin konsesi. Kedua, lahan gambut
tidak cukup sekedar dijaga, namun juga diawasi oleh aparat keamanan.
Sejak 2008, Scale Up mulai mencatat
konflik sosial dan sumber daya alam di Riau. Konflik tersebut terus berulang
dan melibatkan semakin banyak pihak seiring dengan bertambahnya luas lahan.
Selama 2008, terdapat 96 titik konflik pada lahan seluas 200.586 hektar. Tahun
2009, 67 titik konflik pada lahan seluas 345.619 hektar. Tahun 2010, 44 konflik
di lahan seluas 342.571 hektar. Pada 2011, 34 konflik di lahan seluas 329.763
hektar.
Total konflik sempat turun pada 2012,
menjadi 29 konflik pada lahan seluas 79.100 hektar. Namun, tahun berikutnya
kembali naik menjadi 62 konflik pada lahan seluas 171.645 hektar. Kemudian,
2014 terjadi 60 konflik di lahan seluas 464.083 hektar.
Di sepanjang tahun 2015 terjadi 55
konflik. Lembaga kemitraan sosial Scale UP Riau mengkonfirmasi dalam kurun
waktu tahun 2015 terjadi 55 konflik sumber daya alam (SDA) di Provinsi Riau.
Dari jumlah tersebut 36 konflik terdapat di sektor perkebunan, 18 konflik
kehutanan dan 1 konflik tapal batal. Untuk luasan konflik kehutanan di Riau
sepanjang tahun 2015 mencapai 92 ribu hektar.
Tahun 2016 pun konflik lingkungan
terjadi di 73 titik di Provinsi Riau, umumnya terjadi di sektor kehutanan,
perkebunan dan tapal batas dengan luas lahan yang menjadi objek sengketa mencapai
166.927 hektar. Hal ini dikatakan Direktur Eksekutif Scale Up Riau, Harry Octavian.
Dia mencatat konflik Sumber Daya Alam (SDA) sepanjang tahun 2016 lalu terjadi
peningkatan konflik sebesar 28% dari tahun 2015, jika dirunut pada data konflik
empat tahun ke belakang, jumlah konflik tahun ini menjadi tertinggi.
Selama ini, konflik antara masyarakat
dengan perusahaan masih menjadi faktor utama dalam terjadinya konflik.
Sedikitnya ada 43 konflik dengan faktor yang berhadapan langsung antara
masyarakat dengan perusahaan.
Lahan gambut yang dulu dianggap
sebagai lahan marjinal, kini menjadi sebuah sasaran ekspansi perusahaan skala
besar, baik di sektor kehutanan maupun perkebunan. Pengkonversian lahan gambut
menjalar terhadap akibat-akibat lain, salah satunya kebakaran yang menjadikan
gambut kian kritis. Sejauh ini, ada dua hal yang saat ini menguasai dan
memiliki otoritas terhadap gambut. Pertama, lahan gambut dikuasai oleh
perusahaan skala besar dengan mengantongi izin konsesi. Kedua, lahan gambut
tidak cukup sekedar dijaga, namun juga diawasi oleh aparat keamanan.
Terkait dengan penyebab utama dari
maraknya konflik tersebut adalah karut-marut perizinan baik di sektor kehutanan
maupun perkebunan. Banyak perusahaan
yang beroperasi terlebih dahulu baru, kemudian mengurus izin. Padahal lokasi
yang diajukan sebagai kebun terdapat lahan atau pun kebun milik masyarakat
setempat. Selain itu ketidakjelasan tapal batas antara pemilik konsesi dan
masyarakat juga memicu timbulnya konflik. Juga ketidakjelasan tapal batas
antara kabupaten, kota ataupun provinsi. Kondisi ini diperparah dengan
pengerahan aparat keamanan seperti polisi dan tentara yang mempertajam dan
memperluas perselisihan.
Untuk tahun 2015, diperkirakan tren
konflik pemanfaatan SDA masih tinggi, dikarenakan tidak adanya upaya pemerintah
lokal dalam menyelesaikan konflik.
Untuk mengurangi konflik SDA yang
terjadi di Riau ini sebaiknya pemerintaj harus menertibkan perizinan pengelolaan
SDA, membentuk lembaga penyelesaian konflik SDA di tingkat daerah, membangun
strategi penyelesaian konflik dengan para pihak dan harus ada peraturan tegas
yang membatasi perizinan skala besar.
Comments
Post a Comment